Media Berita Esports Indonesia
Perdebatan tentang sejauh mana tingkat kelayakan esport sebagai bentuk “olahraga” atau sport selalu berpusat pada unsur keterlibatan fisik seperti tolok ukur utama. Dalam perspektif konvensional, olahraga dianggap selaku aktivitas yang menuntut gerakan tubuh, peningkatan detak jantung, dan keluarnya keringat. Tidak bisa dimungkiri yakni mayoritas pemain esports menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar monitor. Kondisi terkait kerap menjadi bahan kritik terhadap industri esports karena cara hidup yang sedikit gerak fisik berpotensi memicu berbagai pasal kesehatan, seperti taazur postur tubuh, obesitas, hingga gangguan dalam indera penglihatan. Sebuah studi yang dilakukan DiFrancisco-Donoghue pada setahun 2019 menunjukkan bahwa lebih dari forty persen atlet esports profesional tidak mencapai tingkat aktivitas fisik yang dianjurkan.
Namun, terlepas dari pencapaian tersebut, dunia esports sempat terguncang oleh penjelasaqn kontroversial dari Menteri Komunikasi dan Electronic Republik Indonesia, Meutya Hafid. Hal terkait disampaikannya dalam salahsatu video pendek (shorts) di akun YouTube Kompas TV di dalam Rabu, 25 Mei 2025. Oleh sebab tersebut, penanganan isu game online hendaknya bukan sekadar fokus dalam pelarangan dan pembatasan, melainkan juga pada edukasi serta pendampingan.
Mengenal Esport Kemudian Bedanya Dengan Gaming
Pemerintah pusat ataupun daerah dapat menginisiasi program parenting digital, pelatihan literasi electronic di sekolah, juga menyediakan kegiatan solusi yang positif berbasis teknologi, seperti code, desain game edukatif, atau esports sehat. Anak-anak tidak hanya dijauhkan dari sport, melainkan juga diberi ruang agar dapat tumbuh dan meningkat dengan sehat di dalam dunia digital yg kini menjadi bagian penting dari kehidupan modern. Dengan demikian, ruang digital sanggup berubah dari ancaman menjadi peluang tuk mencetak generasi remaja yang terampil, sehat, dan siap bersaing di masa hadapan. Di sinilah garis pemisah antara konsep “olahraga” dan “latihan fisik” mulai kabur, sebab aktivitas fisik dalam esports bukanlah bagian inti yang permainan, melainkan elemen pendukung demi performa maksimal. Esports di dalam akhirnya tidak hanya berkutat pada keterampilan mengendalikan perangkat ataupun joystick, tetapi pun melibatkan kekuatan psychological dan kebugaran fisik.
Bukan hanya itu saja, e-sports dengan semua benefit yang sanggup didapatkan berhasil mematahkan stigma buruk melangsungkan game, terutama tuk anak-anak. Dilansir untuk berbagai sumber Kompas Gramedia, e-sports atau olahraga elektronik merupakan bidang olahraga yg menggunakan game selaku bidang kompetitif. Atlet Esport juga dilatih secara profesional, termasuk soal kebugaran, demi menunjang peforma di area pertandingan. Esport ataupun olahraga elektronik sekarang sangat diminati, terbukti dari tingginya peminat dalam setiap kompetisi yang diadakannya.
Kontroversi terkait sport online yang selalu dikaitkan dengan ulah negatif hingga adanya wacana memindahkan siswa bermasalah ke barak militer menunjukkan bahwa masyarakat dan pemerintah masih dalam tahap mencari solusi terulung untuk menghadapi tantangan di dunia electronic. Di satu sisi, kekhawatiran akan dampak negatif game, terutama yang mengandung unsur kekerasan dan risiko kecanduan, memang tidak bisa diabaikan. Namun, di sisi yang lain, pendekatan yang terlampau keras dan generalisasi justru berpotensi mengesampingkan potensi serta minat anak-anak dalam aspek digital, termasuk esports.
Perlukah Giat Fisik Dalam Esports Biar Diakui Sebagai Olahraga?
Mereka gak hanya berfokus dalam peningkatan kemampuan teknis permainan, tetapi juga menjalani latihan fisik untuk menjaga daya tahan tubuh kemudian kecepatan reaksi selama pertandingan. Meski unsur fisik berperan penting, terutama untuk menjaga kesehatan pemain dalam jangka panjang, menetapkannya sebagai satu-satunya tolok ukur untuk memutuskan status olahraga ialah pendekatan yang terlalu sempit. Lewat dinamika dan kompleksitasnya, Esports telah menunjukkan kita sebagai cabang permainan kontemporer yang mencerminkan perkembangan zaman. Daripada menolaknya hanya hal ini karena kurangnya aktivitas fisik secara intens, yg lebih dibutuhkan ialah sistem yang dapat menopang pertumbuhan esports secara sehat kemudian profesional. Sebab, esensi olahraga bukan sekedar pada kekuatan fisik, tetapi juga di dalam dedikasi, kemampuan teknis, dan semangat sportivitas dalam berkompetisi.
Apabila tolok ukur sport semata-mata didasarkan pada seberapa banyaknya keringat yang keluar, maka catur, bridge, lalu menembak seharusnya tak masuk dalam daftar cabang olahraga sah. Olahraga ini menuntut ketajaman berpikir, perencanaan strategi yang magang, dan fokus penuh sepanjang permainan. Intensitas kerja otak dalam tinggi sebenarnya merupakan bentuk aktivitas hidup yang layak dihargai dan tidak bisa diremehkan.
Dalam kelompok usia 18 sehingga 29 tahun, minat terhadap esports naik dari 27 persen pada kuartal perdana 2021 menjadi 23 persen di kuartal kedua tahun 2024. Beruangjp ini makin menguat seiring besarnya turnamen esports yang diselenggarakan baik di tingkat nasional ataupun internasional. Kehadiran para atlet digital dalam berlaga di panggung dunia pun turut mengharumkan nama bangsa, mempertegas bahwa esports bukan sekadar entertainment, melainkan juga medan prestasi.
Pada konteks ini, esports menempati posisi exklusiv yang menjembatani masa olahraga fisik dan cabang olahraga berbasis kemampuan kognitif. Seperti catur, bridge, atau biliar yang sudah memperoleh pengakuan dari Komite Olimpiade Internasional, esports juga menuntut konsentrasi tinggi, koordinasi motorik yang jitu, serta daya tahan mental yang menarik. Melansir Eusa College Sports Europe, atlet profesional di negara esports menjalani sesi latihan intensif hingga enam hari pada seminggu.
Temuan ini memperlihatkan yakni kesehatan fisik tena menjadi tantangan serius yang harus ditangani dalam dunia esports profesional. Para atlit esports biasanya menjejaki jadwal latihan dalam ketat dan tersusun rapi, serupa melalui atlet pada cabang olahraga fisik lainnya. Mereka dituntut menjaga daya tahan tubuh, fokus yang klein, serta kemampuan berpikir taktis dalam masa lama saat berlaga. Maka, meskipun pekerjaan geraknya tidak seintens olahraga tradisional, ketentuan terhadap kesiapan fisik dan mental tentu sangat besar.